Bismillah.
Ramadan telah berlalu menyisakan banyak kenangan indah bagi kaum muslimin. Agungnya ibadah puasa merupakan salah satu faktor utama kemuliaan bulan Ramadan. Selain itu, pada bulan Ramadan terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, yaitu lailatul qadar. Dan ia terletak pada 10 hari terakhir di bulan Ramadan.
Ramadan tentu tidak dapat dilupakan kaum beriman. Sebab ia merupakan bulan diturunkannya Al-Quran. Bulan yang penuh dengan berkah dan kedermawanan. Bulan kepedulian dan musim semi ketaatan. Bulan sedekah dan penguatan iman. Bulan untuk menggembleng sifat orang-orang bertakwa dengan tobat dan salat malam.
Setelah Ramadan berlalu, maka tiba bulan Syawal yang juga menyimpan keutamaan dengan puasa enam hari di dalamnya. Setelah itu, masuk ke bulan Zulqa’dah, hari-hari ketika kaum muslimin bersiap menyambut ibadah yang agung di bulan Zulhijah berupa haji dan kurban. Di awal-awal Zulhijah itulah terdapat hari-hari terbaik sepanjang masa; beramal saleh di dalamnya jauh lebih dicintai Allah daripada beramal pada hari-hari yang lainnya. Sepuluh hari awal Zulhijah merupakan hari-hari paling utama.
Keutamaan sepuluh hari pertama Zulhijah
Bulan Zulhijah adalah saat-saat istimewa bagi kaum muslimin. Pada bulan itulah ditunaikan ibadah haji dan disembelih kurban pada hari raya Iduladha dan hari-hari tasyriq. Di antara keutamaan yang terkandung di bulan ini adalah 10 hari pertama. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah,
وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ
“Demi waktu fajar, dan malam-malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1-2)
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud malam-malam yang sepuluh adalah 10 hari pertama di bulan Zulhijah. Inilah pendapat yang dipegang oleh Ibnu Abbas dan para ahli tafsir lainnya serta dikuatkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah. (Lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 8: 391-392)
Penyebutan ‘malam-malam’ dalam ayat tersebut mengandung maksud keutamaan harinya, karena dalam bahasa Arab, kata ‘malam’ sering dipakai untuk mewakili hari, sebagaimana kata ‘hari’ sering digunakan untuk mewakili malamnya. (Lihat Tafsir Juz ‘Amma karya Syekh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah, hal. 188).
Di antara ahli tafsir yang menjelaskan bahwa yang dimaksud sepuluh malam itu adalah 10 hari awal Zulhijah adalah adh-Dhahhak, Mujahid, as-Suddi, dan al-Kalbi rahimahumullah. (Lihat Tafsir al-Qurthubi, 22: 257)
Masruq -seorang ahli tafsir- menjelaskan mengenai keutamaan 10 hari awal Zulhijah ini. Beliau mengomentari firman Allah (yang artinya), “Malam-malam yang sepuluh”; maksudnya adalah 10 hari awal menjelang Iduladha. Beliau mengatakan, “Itu adalah hari-hari paling utama dalam setahun.” (Lihat kitab tafsir ad-Durr al-Mantsur karya as-Suyuthi, 15: 399)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر، فقالوا: يا رسول الله، ولا الجهاد في سبيل الله؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ولا الجهاد في سبيل الله، إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك بشيء
“Tidak ada suatu hari yang beramal saleh padanya lebih dicintai oleh Allah daripada beramal pada sepuluh hari ini -yaitu 10 hari awal Zulhijah-.“
Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah jihad di jalan Allah juga tidak bisa mengalahkan keutamaan beramal pada hari-hari itu?”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali bagi orang yang berangkat jihad dengan membawa jiwanya dan hartanya, lalu tidak kembali sedikit pun darinya.” (HR. Tirmidzi dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma)
Dalam riwayat Bukhari, hadis ini dibawakan dengan redaksi,
ما العَمَلُ في أيَّامٍ أفْضَلَ منها في هذه، قالوا: ولا الجِهادُ؟ قالَ: ولا الجِهادُ، إلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخاطِرُ بنَفْسِه ومالِه، فلَمْ يَرْجِعْ بشَيءٍ
“Tidaklah beramal pada hari-hari yang lebih utama daripada beramal pada hari-hari ini -yaitu sepuluh hari awal Zulhijah-“.
Mereka/para sahabat bertanya, “Apakah jihad -di waktu lain- juga kalah keutamaannya dengan beramal pada hari-hari itu?”
Beliau pun menjawab, “Tidak pula jihad, kecuali bagi orang yang berangkat perang dengan mengorbankan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan membawa apa-apa (alias meninggal dalam keadaan syahid dan hartanya habis).”
Bahkan disebutkan dalam sebagian riwayat bahwa sepuluh hari pertama Zulhijah ini merupakan hari-hari terbaik di dunia selama setahun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hari-hari yang paling utama di dunia adalah hari-hari yang sepuluh; yaitu sepuluh hari (awal) di bulan Zulhijah.” (HR. al-Bazzar, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)
Baca juga: Memaksimalkan Ibadah di Bulan Zulhijah
Keutamaan puasa di sembilan hari awal Zulhijah
Di antara amalan yang dianjurkan untuk dilakukan pada 9 hari awal Zulhijah adalah berpuasa. Hal ini berdasarkan riwayat dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau (nabi) biasa berpuasa pada sembilan hari [awal] Zulhijah. (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2: 78)
Oleh sebab itu, Imam Abu Dawud rahimahullah mencantumkan hadis ini di bawah judul, ‘Puasa pada 10 hari pertama [Zulhijah]’; maksud beliau adalah tanggal 1-9, karena tanggal 10 Zulhijah adalah hari raya Iduladha, sehingga dilarang puasa.
Syekh al-Albani rahimahullah menyebutkan sebuah hadis sahih dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Dahulu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan puasa sembilan hari [awal] Zulhijah…” (HR. Abu Dawud dalam Kitab as-Shaum, lihat Shahih Sunan Abi Dawud no. 2437)
An-Nawawi rahimahullah berkata, “… Bahkan puasa pada saat itu -sembilan hari awal Zulhijah- adalah mustahab (dianjurkan) dengan anjuran yang sangat kuat, terlebih-lebih lagi pada tanggal sembilannya yaitu hari Arafah…” (lihat Syarh Muslim, 5: 9; cet. Ibn al-Haitsam)
Di antara sembilan hari itu, maka yang paling ditekankan untuk berpuasa adalah pada tanggal 9 Zulhijah atau puasa Arafah, yaitu bagi yang tidak sedang menunaikan ibadah haji. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa pada hari Arafah, aku berharap kepada Allah bahwa ia bisa menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan dosa setahun yang sesudahnya.” (HR. Muslim dari Abu Qatadah radhiyallahu ’anhu)
Meskipun demikian, tidak berpuasa pada sembilan hari pertama Zulhijah itu pun tidak berdosa. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah tidak berpuasa pada hari-hari itu. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat ‘Aisyah radhiyallahu ’anha bahwa beliau menceritakan, “Aku sama sekali tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada 10 hari -awal Zulhijah-.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Hadis ini dibawakan oleh Imam Abu Dawud rahimahullah dengan judul, ‘Tidak berpuasa pada 10 hari awal [Zulhijah].’ Maksud beliau –wallahu a’lam– adalah ingin menunjukkan kebolehannya dan bahwasanya hal itu bukanlah perkara yang tercela.
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwasanya bisa saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa pada sembilan hari awal Zulhijah -ketika bersama ‘Aisyah- disebabkan karena ada sebab tertentu bisa jadi karena sakit atau sedang safar (bepergian), atau ada sebab lainnya. Atau memang ‘Aisyah tidak melihat beliau berpuasa pada saat itu. Perkataan ‘Aisyah ini tidak melazimkan bahwa beliau tidak pernah melakukan puasa tersebut. (Lihat Syarh Muslim, 5: 101)
Demikian pula keterangan Imam asy-Syaukani rahimahullah dalam kitabnya ad-Darari al-Mudhiyyah (hal. 167). Beliau menjelaskan bahwa salah satu puasa yang dianjurkan (sunah) itu adalah puasa sembilan hari pada awal bulan Zulhijah. Dalilnya adalah hadis dari Hafshah yang diriwayatkan oleh Ahmad dan an-Nasa’i bahwasanya salah satu puasa yang tidak pernah atau jarang ditinggalkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah puasa sepuluh hari awal Zulhijah -maksudnya sembilan hari pertama-. Begitu pula hadis dalam riwayat Abu Dawud dengan redaksi yang berbeda. Adapun perkataan ‘Aisyah -dalam riwayat Muslim- bahwa beliau tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari awal Zulhijah, tidak dengan serta merta menunjukkan bahwa beliau tidak pernah berpuasa.
Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menerangkan bahwa puasa pada sembilan hari awal Zulhijah adalah dianjurkan. Dalilnya adalah hadis dari Hafshah yang menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa pada sepuluh hari tersebut (awal Zulhijah, kecuali tanggal 10, pent). Syekh mengatakan, ‘Hadis ini diriwayatkan Abu Dawud dan lainnya dengan sanad laa ba’sa bihi’. Hafshah memberitakan sesuatu yang tidak diketahui oleh ‘Aisyah. Adapun ‘Aisyah sekedar memberitakan sebatas apa yang beliau ketahui. Dalam kaidah para ulama dinyatakan bahwa berita yang menetapkan lebih didahulukan daripada berita yang menafikan; yang demikian itu karena di dalam berita yang berisi penetapan terkandung tambahan ilmu. (Lihat Fadhlu al-‘Asyri min Dzilhijjah, hal. 2; dengan sedikit penambahan)
Adapun pada tanggal 10 Zulhijah, maka amalan yang paling utama untuk dilakukan -setelah amal-amal yang wajib- antara lain menunaikan salat Iduladha dan menyembelih kurban bagi yang memiliki kemampuan. Selain itu juga dengan memperbanyak takbir, tahlil, dan tahmid. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan lebih dicintai oleh-Nya untuk dilakukan amal saleh padanya daripada sepuluh hari ini (yaitu di awal Zulhijah, pent). Oleh sebab itu, perbanyaklah padanya ucapan tahlil, takbir, dan tahmid.” (HR. Ahmad dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhuma dan dinyatakan sahih oleh Ahmad Syakir)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hari yang paling agung di sisi Allah Tabaraka wa Ta’ala adalah hari nahr (kurban) kemudian hari qarr (11 Zulhijah).” (HR. Abu Dawud no 1765, dinyatakan sahih oleh al-Albani)
Hadis ini menunjukkan bahwa hari paling agung selama setahun adalah tanggal 10 Zulhijah atau disebut dengan yaumun nahr (hari kurban). Sehingga hadis ini juga tercakup dalam hadis-hadis yang menunjukkan bahwa sepuluh hari pertama di bulan Zulhijah merupakan deretan hari-hari terbaik sepanjang tahun. Dan yang paling utama di antara sepuluh hari itu adalah hari kesepuluh atau hari raya Iduladha.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah, dan sebaik-baik ucapan yang aku ucapkan dan diucapkan oleh para nabi sebelumku adalah ‘laa ilaaha illallahu wahdahu laa syariika lahu, lahulmulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai’in qodiir’.” (HR. Tirmidzi no 3585, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada suatu hari yang lebih banyak pada hari itu Allah memerdekakan hamba dari neraka melebihi keutamaan hari Arafah. Sesungguhnya Allah pun mendekat -kepada para hamba- kemudian Allah membanggakan mereka -orang-orang yang wukuf di padang Arafah- di hadapan para malaikat. Allah pun berkata, ‘Apa yang dikehendaki oleh orang-orang ini?’” (HR. Muslim no. 1348)
Keutamaan ibadah kurban
Salah satu bentuk ibadah kepada Allah adalah dengan menyembelih hewan atau berkurban. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah, sesungguhnya salatku, sembelihanku, hidup, dan matiku adalah untuk Allah, Rabb seru sekalian alam.” (QS. al-An’am: 162)
Ibadah kepada Allah itu sendiri tidak akan diterima kecuali jika dipersembahkan kepada Allah semata, tidak boleh mempersekutukan Allah dalam hal ibadah itu. Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً
“Dan sembahlah Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (QS. an-Nisa’: 36)
Beribadah kepada Allah dan juga kepada selan-Nya ini disebut sebagai kesyirikan.
Begitu pula sembelihan. Tidak boleh memberikan sembelihan dalam rangka pendekatan diri (amalan ibadah dan ritual) serta pengagungan kecuali kepada Allah. Sehingga tidak boleh mempersembahkan sembelihan semacam ini kepada jin atau setan atau kepada raja dan pemimpin atau tokoh sebagai bentuk pengagungan kepada mereka. Disebabkan hal itu termasuk kategori menujukan ibadah kepada selain Allah. (Lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh al-Fauzan, hal. 153)
Allah juga berfirman,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka salatlah untuk Rabbmu, dan sembelihlah kurban.” (QS. al-Kautsar: 2)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan maksud ayat tersebut, “Artinya ikhlaskanlah salatmu dan sembelihanmu untuk-Nya. Karena sesungguhnya dahulu orang-orang musyrik itu terbiasa menyembah patung dan menyembelih untuk dipersembahkan kepadanya…” (Lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 3: 275)
Dengan demikian, mempersembahkan sembelihan -dalam rangka ritual pengagungan- kepada selain Allah adalah perbuatan yang haram dan dibenci oleh Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah melaknat orang yang menyembelih dalam rangka dipersembahkan kepada selain Allah.” (HR. Muslim)
Perbuatan menyembelih untuk dipersembahkan kepada selain Allah adalah syirik. (Lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab al-Tauhid, hal. 98)
Baca juga: Peristiwa-Peristiwa Penting di Bulan Zulhijah
***
Penulis: Ari Wahyudi
Artikel Muslim.or.id
Lifestyle
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.