Ibnu Hisyam mengatakan,
وَكَذَا إِثْنَانِ وَإِثْنَتَانِ وَإِنْ رُكِّبَا
“Demikian pula dua (laki-laki) dan dua (perempuan), dan apabila disusun (digabungkan).”
Kata إِثْنَانِ dan إِثْنَتَانِ di-i’rabkan sebagaimana isim mutsanna tanpa syarat apapun. Kedua kata tersebut biasanya tidak berbentuk idhafah. Mayoritas penggunaan kata ini memang tidak berupa susunan idhafah. Berikut adalah beberapa contoh penggunaannya:
حَضَرَ فِي الْمَسْجِدِ إِثْنَانِ
“Mereka (2 orang) hadir di masjid.”
وَرَأَيْتُ إِثْنَيْنِ
“Saya melihat dua orang.”
وَسَلَّمْتُ عَلَى إِثْنَيْنِ
“Saya memberi salam kepada dua orang.”
Kata istnaani berfungsi sebagai fa’il marfu’ dengan tanda alif. Kata ini di-i’rabkan dengan alif yang melekat pada isim mutsanna (disamakan dengan isim mutsanna).
Begitu juga, meskipun kata tersebut berupa idhafah, tetap di-i’rabkan sebagaimana isim mutsanna. Kata tersebut mulhaq bil mustanna (diserupakan dengan isim mutsanna), meskipun kata tersebut bukanlah isim mutsanna, hanya saja diserupakan dengan isim mutsanna. Berikut adalah contohnya:
هَذَا إِثْنَانِ زَيْدٍ
“Ini adalah dua orang yang bernama Zaid.”
Kata إِثْنَانِ berfungsi sebagai khobar marfu’ dengan tanda alif karena diserupakan dengan isim mutsanna. Sedangkan kata زَيْد berkedudukan sebagai mudhof ilaih.
Demikian juga, apabila kata tersebut berupa susunan yang terdiri lebih dari dua kata, maka tetap di-i’rabkan dengan alif karena diserupakan dengan isim mutsanna. Berikut ini adalah beberapa contohnya:
حَضَرَ فِي الْفَصْلِ إِثْنَا عَشَرَ طَالِبًا
“Telah hadir dua belas siswa di kelas.”
Kata إِثْنَا sebagai fail marfu’ dengan tanda alif karena mulhaq bil mustanna. Adapun kata عَشَرَ mabni dengan tanda fathah dan tidak punya kedudukan di dalam kalimat.
رَأَيْتُ إِثْنَيْ عَشَرَ طَالِبًا
“Saya melihat dua belas siswa.”
Kata إِثْنَيْ sebagai maf’ul bih manshub dengan tanda yaa karena mulhaq bil mustanna.
وَدَخَلْتُ عَلَىٰ إِثْنَيْ عَشَرَ طَالِبًا
“Saya masuk kepada dua belas siswa.”
Kata إِثْنَيْ adalah isim majrur dengan tanda yaa karena mulhaq bil mustanna.
Ibnu Hisyam mengatakan,
وَأُولُو وَإِشْرُونَ وَأَخَوَاتُهُ
Setelah Ibnu Hisyam membahas jama’ mudzakkar salim, beliau melanjutkan pembahasan mengenai isim mulhaq bil jama’ mudzakkar salim (yang diserupakan dengan jama’ mudzakkar salim). Kata tersebut sebenarnya bukanlah jama’ mudzakkar salim, namun diserupakan dengan jama’ mudzakkar salim. Kata ini tidak termasuk dalam jama’ mudzakkar salim karena definisi jama’ mudzakkar salim tidak dapat diterapkan pada isim mulhaq bil jama’ mudzakkar salim. Pada isim mulhaq bil jama’ mudzakkar salim, tidak terpenuhi syarat-syarat sebagai isim jama’ mudzakkar salim. Meskipun demikian, isim mulhaq bil jama’ mudzakkar salim tersebut di-i’rabkan seperti halnya jama’ mudzakkar salim. Hal ini karena ada dua jenis kata yang dijama’ dengan jama’ mudzakkar salim.
Pertama, adalah nama. Contohnya adalah:
حَضَرَ الْمُحَمَّدُونَ
“Orang-orang yang bernama Muhammad telah hadir.”
Lafaz الْمُحَمَّدُون adalah isim jama’ mudzakkar salim. Berbeda dengan lafaz rajulun, maka lafaz rajulun tidak dijamak dengan jama’ mudzakkar salim jika tidak dalam bentuk tashghir. Namun, jika lafaz tersebut dalam bentuk tashghir, maka boleh dijamak dengan jama’ mudzakkar salim, sehingga menjadi rujailuuna.
Kedua, adalah sifat. Contohnya adalah:
لَا تُصْغِ إِلَى الْكَاذِبِينَ
“Jangan dengarkan orang-orang yang berdusta.”
Dalam hal ini, kata الْكَاذِبِين (orang-orang yang berdusta) termasuk dalam kategori sifat, karena menunjukkan sifat dari orang yang disebutkan.
Yang dimaksud sifat adalah apa-apa yang menunjukkan sifat dan orang yang disifati juga termasuk sifat.
Syarat-syarat nama yang bisa menjadi isim jama’ mudzakar salim ada empat:
Pertama, nama laki-laki. Apabila nama tersebut adalah nama perempuan, maka tidak dapat dijamak dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:
زَيْنَبُ
Kedua, berakal. Apabila yang disebutkan tidak berakal, maka tidak dapat dijamak dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:
لاَحِقٌ
“Kuda kurus”
Ketiga, terlepas dari huruf ta. Apabila terdapat huruf ta di akhir kata tersebut, maka tidak dapat dijama’ dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:
طَلْحَة
Keempat, satu kata. Apabila berupa tarkib atau susunan kata, maka tidak dapat dijamak dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:
عبد الله
Syarat-syarat sifat yang bisa menjadi isim jama’ mudzakar salim ada enam:
Pertama, sifat untuk laki-laki. Apabila sifat untuk perempuan, maka tidak dapat di-jama’ dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:
حَائِضٌ
“Merujuk pada wanita yang sedang menstruasi.”
Kedua, sifat untuk sesuatu yang berakal. Apabila sifat tersebut untuk sesuatu yang tidak berakal, maka tidak dapat di-jama’ dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:
سَابِقٌ
“Sifat kuda yang cepat”
Ketiga, terlepas dari huruf ta. Apabila terdapat huruf ta, maka tidak dapat dijamak dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:
عَلَّامَةٌ
Keempat, tidak berwazan أَفْعَل untuk menunjukkan laki-laki dan فَعْلَاء untuk perempuan. Apabila kata tersebut berwazan أَفْعَل atau فَعْلَاء, maka tidak bisa dijamak dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:
أَخْضَرُ
“Sifat hijau untuk laki-laki”
خَضْرَاءُ
“Sifat hijau untuk perempuan”
Kelima, tidak berwazan فَعْلَان untuk laki-laki dan فَعْلَى untuk perempuan. Apabila kata tersebut berwazan seperti ini, maka lafaz tersebut tidak bisa di-jama’ dengan jama’ mudzakkar salim. Contohnya adalah:
شبْعان
“Kenyang”
شبعى
“Kenyang”
Keenam, lafaz tersebut tidak sama apabila digunakan untuk mudzakkar atau mu’annats. Contohnya adalah:
صَبُورٌ
“Penyabar”
Contoh di dalam kalimat adalah:
صَبُورٌ خَالِد
“Khalid orang yang sabar”
صَبُورٌ هِنْد
“Hindun orang yang sabar”
[Bersambung]
Kembali ke bagian 18
***
Penulis: Rafi Nugraha
Artikel Muslim.or.id
Lifestyle
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.