Pengantar
Kaum muslimin yang berkesempatan menunaikan ibadah haji hendaknya banyak bersyukur kepada Allah karena dimudahkan oleh Allah untuk menunaikan ritual ibadah yang agung ini. Allah memuliakan mereka dengan menjadikannya sebagai duyufuurahman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الحُجَّاجُ وَالْعُمَّارُ وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ، سَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ
“Para jemaah haji dan umrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka, maka mereka pun memenuhi panggilan tersebut. Mereka meminta kepada-Nya dan Ia berikan kepada mereka.” (HR. Al-Bazzaar, dihasankan oleh Al-Albani)
Maka sekali lagi, segala puji hanyalah untuk Allah atas segala nikmat, baik nikmat saat ini maupun yang telah berlalu, baik nikmat yang tampak maupun tersembunyi, baik nikmat khusus maupun umum, maka kita memohon kepada-Nya agar menjadikan kita semua senantiasa bersyukur kepada-Nya, memperbagus ibadah kepada-Nya, dan memberi taufik kepada kita dalam setiap kebaikan yang diridai oleh-Nya.
Dalam tulisan ini, akan disampaikan pembahasan mengenai (مقاصد الحج); yaitu tujuan-tujuan ibadah haji yang ditulis oleh Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah. Pembahasan ini adalah pembahasan yang memiliki tujuan penting, dan setiap kita membutuhkannya ketika menunaikan ibadah haji untuk mengingat dan memikirkan tujuan-tujuan penting dalam ibadah haji ini; agar ketika menunaikan rangkaian manasik ibadah haji, kita bisa mewujudkan tujuan-tujuan tersebut dan menyempurnakannya.
Haji adalah di antara rukun Islam, merupakan bentuk ketaatan yang agung, ibadah yang mulia, dan merupakan upaya seorang mukmin untuk mendekatkan dirinya kepada Allah. Dalam ibadah haji terdapat tujuan dan capaian yang mulia yang harus kita ingat selalu. Tujuan ini tentunya sangat banyak, akan tetapi di sini akan dijelaskan di antara tujuan-tujuan yang paling pokok dan penting. Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah menyebutkan ada 15 di antara tujuan-tujuan dalam ibadah haji:
(1) Mewujudkan pemurnian tauhid;
(2) Mendapatkan keberuntungan besar berupa rida Allah dan selamat dari neraka;
(3) Merealisasikan takwa kepada Allah;
(4) Senantiasa mengingat Allah;
(5) Menguatkan keimanan;
(6) Memenuhi panggilan Allah;
(7) Merasakan manfaat-manfaat besar dari ibadah haji;
(8) Mengingat ibadah dan pengorbanan para Nabi ‘alahimus salam;
(9) Mendalami ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam;
(10) Menyelisihi amal dan kesesatan kaum musyrikin;
(11) Mengingat akhirat;
(12) Mewujudkan ukhuwah diniyyah;
(13) Bimbingan agar memiliki akhlak mulia;
(14) Membentuk sikap pertengahan dalam beragama; dan
(15) Merasakan betapa agungnya karunia Allah.
Hanya kepada Allah kita bersandar meminta pertolongan dan memohon taufik, serta kita meminta kepada Allah agar menerima jihad amal ini, dan memberikan keberkahan yang banyak di dalamnya.
Tujuan pertama: Mewujudkan pemurnian tauhid
Di antara tujuan ibadah haji yang agung, yang paling pokok dan penting adalah untuk mewujudkan pemurnian tauhid kepada Allah serta berlepas diri dan membersihkan diri dari kebalikannya, yaitu kesyirikan kepada Allah. Ini adalah merupakan tujuan yang paling mulia dan tujuan yang paling agung, karena tauhid merupakan asas yang merupakan tujuan Allah menciptakan kita.
Setiap rangkaian manasik haji dan syiar-syiar dalam ibadah haji menampakkan dengan sangat jelas sekali kedudukan tauhid yang mulia dan bahwasanya tauhid adalah asas yang merupakan pondasi agama Allah. Seluruh bentuk ketaatan kepada Allah dibangun di atasnya. Bahkan seluruh ibadah dan ketaatan yang tidak dilakukan di atas tauhid kepada Allah dan berlepas diri dari kesyirikan, maka Allah tidak akan menerima amal tersebut. Oleh karena itu, Jabir radhiyallahu ‘anhu mengatakan tentang haji yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَأَهَلَّ بِالتَّوۡحِيدِ (لَبَّيۡكَ اللَّهُمَّ لَبَّيۡكَ، لَبَّيۡكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيۡكَ، إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ، لَا شَرِيكَ لَكَ)
“Beliau memulai talbiyah dengan kalimat tauhid, “Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat adalah milik-Mu, begitu pula kerajaan. Tidak ada sekutu bagi-Mu.” (HR. Muslim no. 1218)
Kalimat yang agung ini adalah kalimat yang menunjukkan tauhid dan ikhlas kepada Allah serta berlepas diri dari kesyirikan. Sementara orang-orang musyrik, mereka bertalbiyah dengan menyebut sekutu dan tandingan-tandingan selain Allah. Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
كَانَ الۡمُشۡرِكُونَ يَقُولُونَ: لَبَّيۡكَ لَا شَرِيكَ لَكَ. قَالَ: فَيَقُولُ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (وَيۡلَكُمۡ، قَدۡ، قَدۡ) فَيَقُولُونَ: إِلَّا شَرِيكًا هُوَ لَكَ، تَمۡلِكُهُ وَمَا مَلَكَ. يَقُولُونَ هٰذَا وَهُمۡ يَطُوفُونَ بِالۡبَيۡتِ
“Orang-orang musyrik dahulu biasa mengatakan, ‘Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu.’ Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Celaka kalian, cukup, cukup sampai itu saja.’ Lantas mereka melanjutkan, ‘Kecuali sekutu bagi-Mu yang Engkau kuasai dan dia tidak menguasai.’ Mereka mengatakan ini ketika mereka tawaf di Ka’bah.” (HR. Muslim no. 1185)
Ucapan (لَا شَرِيكَ لَكَ) diulang dalam bacaan talbiyah sebanyak dua kali. Yang pertama di akhir ucapan (لَبَّيۡكَ) dan yang kedua di akhir setelah ucapan (إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ). Maka yang pertama mengandung makna bahwasanya tidak ada sekutu bagi Allah dalam mengabulkan doa. Adapun yang kedua mengandung makna bahwasanya tidak ada sekutu bagi Allah dalam pujian, nikmat, dan kepemilikan. Ini merupakan perwujudan ikhlas kepada Allah dalam tauhid ilmu dan amal. Tauhid amal terkandung dalam ucapan (لَبَّيۡكَ اللَّهُمَّ لَبَّيۡكَ); sedangkan tauhid ilmu terkandung dalam ucapan (إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ وَالۡمُلۡكَ، لَا شَرِيكَ لَكَ).
Jika orang yang bertalbiyah mengulang-ulang ucapan bahwasanya segala pujian seluruhnya hanya untuk Allah, segala nikmat hanyalah milik Allah, seluruh kerajaan adalah milik Allah, tidak ada sekutu bagi Allah sama sekali dalam hal-hal tersebut, maka semestinya Allah juga diesakan dalam talbiyah, ketundukan, kecintaan, ketaatan, dan kepasarahan. Bagaimana mungkin bisa menjadikan bersama Allah sekutu dalam ibadah, sesuatu yang tidak memiliki apapun, tidak memiliki sedikit pun saham dalam kepemilikan, tidak mampu memberi manfaat, tidak bisa memberi dan mencegah permintaan. Bahkan segala perkara semuanya hanyalah untuk Allah, tidak ada sekutu sama sekali bagi-Nya. Ini merupakan penjelasan paling gamblang tentang rusaknya kesyirikan, dan pelakunya adalah orang yang paling dungu dan paling sesat.
Ketika Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan kalimat ihlal haji di miqat, beliau berkata,
اللَّهُمَّ حُجَّةٌ لاَ رِيَاءَ فِيْهَا وَلاَ سُمْعَةَ
“Ya Allah, Aku tunaikan haji ini, maka jadikanlah hajiku ini tanpa riya’ dan sum’ah.” (HR. Ibnu Majah, hasan)
Kemudian beliau bertalbiyah menuju Mekah dengan kalimat tauhid yang agung ini. Kalimat yang mengandung perwujudan memurnikan tauhid dan berlepas diri dari lawannya, yaitu kesyirikan. Beliau mengulang-ulanginya dalam perjalanan menuju Mekah dan di setiap perpindahan dari tempat-tempat area manasik haji.
Kemudian sesungguhnya tawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa, dan wukuf di Arafah, mabit dan wukuf di Muzdalifah, serta penunaian amalan-amalan haji yang lainnya, semuanya adalah ketaatan dan ibadah yang dibangun di atas tauhid. Wajib bagi setiap jamaah haji menujukan amal-amal tersebut semuanya untuk mengharap wajah Allah, karena Allah tidak akan menerima satu amal pun kecuali di atas tauhid kepada-Nya. Dalam hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman,
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya dan perbuatan syiriknya.” (HR. Muslim no. 2985)
Bagi orang yang bertalbiyah, mengucapakan kalimat ini hendaknya menghadirkan makna dan memperhatikan kandungannya, dan berusaha mewujudkan tauhid dalam kehidupannya sehingga dia mengikhlaskan seluruh agamanya hanya untuk Allah. Dia tidak akan meminta kecuali hanya kepada Allah, tidak istighasah kecuali kepada Allah, tidak bertawakal kecuali kepada Allah, tidak menyembelih kecuali untuk Allah, tidak bernazar kecuali kepada Allah, dan tidak menujukan ibadah apapun kecuali hanya untuk Allah. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ لَا شَرِيۡكَ لَهٗۚ وَبِذٰلِكَ اُمِرۡتُ وَاَنَا اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِيۡنَ
“Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).“ (QS. Al-An’am: 162-163)
[Bersambung]
Lanjut ke bagian 2
***
Penulis: Adika Mianoki
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
Maqashidul Hajj, karya Syekh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-Badr hafizhahullah.
Lifestyle
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.