Beberapa tahun silam, di sebuah kelas fikih pada suatu sore, menjadi kali pertama kami mendengar hadis ini. Sekilas, isi hadis ini tampak sederhana dan tidak berkaitan secara langsung dengan kami sebagai laki-laki. Meskipun demikian, tentunya tetap wajib dipelajari karena lelaki tetaplah seorang anak dari ibunya, suami bagi istrinya, ayah untuk putrinya, kakek terhadap cucu perempuannya, maupun seorang muslim yang perlu menyampaikan nasihat kepada kaum muslimin lainnya, walau hanya sebuah hadis. Selain itu, kami dapati pula pelajaran tersirat yang akhirnya mendorong kami untuk menuliskannya. Selamat membaca, semoga Allah Ta’ala memberikan keberkahan.
Teks hadis
عَن أُمُّ حُمَيد امرَأَةُ أَبِي حُمَيد السَّاعِدِي أَنَّهَا جَاءَت النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ. قَالَ: قَد عَلِمتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي، وَصَلَاتُكِ فِي بَيتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي حُجرَتِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي حُجرَتِكِ خَيْرٌ مِن صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي مَسجِدِ قَومِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي مَسجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِن صَلَاتِكِ فِي مَسجِدِي “، قَالَ: فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسجِدٌ فِي أَقصَى شَيءٍ مِن بَيتِهَا وَأَظلَمِهِ، فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَت اللهَ عَزَّ وَجَلَّ
Dari Ummu Humaid, istri Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhuma, beliau mendatangi Rasulullah ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku senang salat bersamamu.”
Rasulullah ﷺ menjawab, “Sungguh aku telah mengetahui bahwa engkau senang salat bersamaku. Hanya saja, salatmu di ruangan (yang terdapat) di dalam kamarmu itu lebih baik daripada salatmu di kamarmu. Dan salatmu di kamar itu lebih baik daripada salatmu di ruang tengah rumahmu. Dan salatmu di rumahmu itu lebih baik daripada salatmu di masjid kampungmu. Dan salatmu di masjid kampungmu itu lebih baik daripada salat di masjidku.”
Ummu Humaid lalu meminta untuk dibangunkan tempat salat di pojok kamarnya yang paling gelap. Dan dia biasa melakukan salat di sana hingga berjumpa dengan Allah ‘Azza wa Jalla (wafat). [1]
Pelajaran tersurat: Keutamaan salat di rumah bagi wanita
Faedah pertama dari hadis di atas adalah keutamaan salat di rumah bagi wanita. Semakin tertutup tempatnya, maka semakin afdal. Syariat memotivasi kaum wanita untuk salat di rumah, karena itu lebih menjaga dirinya dan tidak menimbulkan fitnah (ujian) bagi orang lain.
Asalnya, keutamaan ini berlaku baik untuk salat wajib maupun salat sunah, kecuali pada salat sunah tertentu seperti salat Id yang memiliki dalil khusus, yang mendorong wanita untuk tidak salat di rumahnya. Fatwa komisi fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah menyebutkan, “Salat seorang wanita di rumahnya lebih baik daripada salatnya di masjid, baik salat fardu, salat sunah tarawih, maupun yang selainnya.” [2]
Meskipun demikian, syariat tetap membolehkan wanita untuk pergi ke masjid. Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda,
لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian melarang istri kalian pergi ke masjid. Namun, rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” [3]
Tidak dipungkiri, barangkali ada sejumlah pertimbangan yang kadangkala mendorong wanita untuk memilih pergi ke masjid, bisa berupa kondisi rumah, menurunnya semangat, dan lain sebagainya. Namun, perlu dicatat bahwa kebolehan ini terikat dengan sejumlah syarat seperti menjaga aurat, tidak ikhtilat (campur baur dengan non mahram tanpa alasan syar’i), tidak tabarruj (menampakkan kecantikan di depan non mahram), serta menghindari pelanggaran syariat yang lainnya.
Syekh Ibnu Baz rahimahullah menjelaskan, “Asalnya, salat seorang wanita di rumahnya adalah lebih utama dan lebih baik baginya. Namun, jika ia melihat adanya maslahat dalam melaksanakan salat di masjid dengan tetap menutup aurat dan menjaga diri; karena hal itu lebih membangkitkan semangat baginya, atau karena ia dapat mendengarkan faidah dari berbagai kajian ilmiah, maka hal ini tidak mengapa dan tidak ada dosa di dalamnya, walhamdulillah. Hal ini juga baik karena mengandung manfaat yang besar dan semangat untuk mengerjakan amal saleh.” [4]
Baca juga: Menjadi Ayah Teladan
Pelajaran tersirat: Menjadi pendengar yang baik, membangun komunikasi yang sehat
Hadis ini juga memberikan contoh langsung dari Rasulullah ﷺ dan Ummu Humaid As-Sa’idiyyah radhiyallahu ‘anha, perihal bagaimana cara membangun komunikasi yang sehat.
Rasulullah ﷺ tidak memotong ucapan Ummu Humaid, melainkan mendengarkannya hingga tuntas. Beliau ﷺ tidak langsung menjawab dengan mengatakan, “Oh tidak begitu, salat di rumah adalah yang terbaik bagi perempuan. Pokoknya saya yang paling paham apa yang paling baik untukmu” atau perkataan yang semisal. Rasulullah ﷺ lebih memilih untuk memvalidasi perasaannya terlebih dahulu dengan mengatakan, “Sungguh aku telah mengetahui bahwa engkau senang salat bersamaku”.
Rasulullah ﷺ menunjukkan kesungguhan dan memberi kepastian bahwa beliau ﷺ benar-benar mengetahui maksud dan perasaan Ummu Humaid radhiyallahu ‘anha, bukan sekadar mendengar untuk menyiapkan bantahan. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan kata قَدْ yang bersambung dengan fi’il madhi (kata kerja lampau), sehingga memiliki makna penekanan dan penegasan.
Setelahnya, tanpa menolak apalagi mendiskreditkan keinginan dan perasaan Ummu Humaid, Nabi ﷺ memaparkan sejumlah opsi yang lebih utama. Ini menjadi pelajaran berharga, bahwa tatkala kita berbeda pandangan dengan orang lain yang tidak keliru, jangan langsung memaksanya untuk mengikuti pandangan yang kita rasa lebih baik. Sampaikan alternatif yang kita miliki beserta alasannya, lalu berikan ia ruang untuk memilih. Begitulah cara Rasulullah ﷺ menanggapi keinginan Ummu Humaid yang tidak terlarang oleh syariat, hanya saja memang bisa diarahkan kepada pilihan terbaik, yakni salat di rumah.
Ummu Humaid radhiyallahu ‘anha pun juga menunjukkan kemampuan komunikasi yang baik. Ia tidak sungkan menyampaikan keinginan dan perasaan beliau secara jelas dan tidak berlebihan, sebuah bentuk self-disclosure (berbagi perasaan atau informasi pribadi) yang sehat. Ini menunjukkan bahwa tidak mengapa mengungkapkan hal-hal yang kita sukai atau tidak kita sukai, agar orang lain bisa memahami dan membangun hubungan yang lebih baik dengan kita.
Begitu pula saat hendak meminta suatu hal kepada orang lain, tidak salah menyertakan perasaan kita dengan mengatakan, “Aku senang kalau kamu …” atau “Terus terang, aku agak sedih kalau kamu …” atau “Menurutmu gimana kalau …?” atau yang semisal. Setelah itu, dengarkan jawabannya, pahami posisi dan perasaannya. Lalu, jika perlu, sampaikan pendapat kita tanpa mengesampingkan, apalagi meniadakan pendapat dan perasaannya. Demikianlah komunikasi yang sehat itu terjalin, di mana kedua pihak dapat menjalankan perannya sebagai penyampai pesan yang jujur, pendengar yang baik, maupun sebagai teman bicara yang bijak.
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata, “Yang bisa dijadikan pelajaran banyak. Namun, yang bisa mengambil pelajaran sedikit.” [5]
Semoga Allah Ta’ala memberi kita taufik.
Baca juga: Teladan Nabi dalam Istighfar
***
Penulis: Reza Mahendra
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] HR. Ahmad, 37: 45, dinilai hasan oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth rahimahullah, baca faidah selengkapnya di sini.
[2] Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah – Majmu’atul Ula, 7: 210.
[3] HR. Abu Dawud no. 567, dinilai sahih oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’, 4: 197.
[4] Web resmi Syekh Ibnu Baz, http://www.binbaz.org.sa/mat/15477
[5] Al-Bashair wa Adz-Dzakhair, 7: 229; via Maktabah Syamilah.
Lifestyle
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.