Dalam potongan kisah hidup Nabi ﷺ, beliau berinteraksi dengan beragam orang. Termasuk para pendosa dari kalangan kafir maupun para sahabat terdekatnya. Interaksi tersebut melahirkan faedah besar yang tiada habisnya untuk dikaji oleh kaum muslimin sepanjang zaman. Tentu ini merupakan rahmat Allah ﷻ kepada Nabi-Nya ﷺ serta menunjukkan kesempurnaan sifat insaniyah yang dimilikinya.
Salah satu teladan Nabi ﷺ dalam menyikapi pendosa adalah menghargai kejujurannya. Terdapat sebuah riwayat tentang Hathib bin Abi Balta’ah, seorang sahabat Rasulullah ﷺ yang melakukan sebuah dosa besar dan kesalahan fatal yang dapat membahayakan kaum muslimin juga Nabi ﷺ. Hathib radhiyallahu anhu pernah membocorkan rahasia kekuatan militer dan strategi negara Islam kepada musyrikin Makkah. Dinukil dari Shahih Muslim (no. 4550) yang diriwayatkan Ali radhiyallahu anhu, bahwa beliau pernah diutus Nabi ﷺ bersama dua sahabat lainnya untuk mengejar seorang wanita yang sedang membawa surat keluar Madinah. Wanita itu mulanya tidak mengaku, lalu dengan sedikit paksaan, wanita itu pun mengeluarkan sebuah surat yang isinya,
“Dari Hathib bin Abu Balta’ah untuk kaum kafir Quraisy Makkah tentang beberapa urusan Rasulullah ﷺ. Rasulullah bertanya, ‘Wahai Hathib, apa ini?’ Hathib menjawab, ‘Wahai Rasulullah, janganlah engkau tergesa-gesa marah kepada saya! Sebenarnya saya dahulu pernah akrab dengan kaum kafir Quraisy Makkah. Saya juga dulu pernah turut serta berhijrah bersama engkau meninggalkan keluarga di kota Makkah yang mereka dipelihara oleh kerabat mereka. Ketika kerabat mereka sudah tidak ada lagi, maka saya ingin ada jaminan dari mereka untuk melindungi keluarga saya. Dan tidaklah saya melakukannya karena kafir ataupun murtad dari agama saya, dan tidak juga karena rela menjadi kafir setelah masuk Islam.’
Kemudian Nabi ﷺ bersabda, ‘Kamu jujur!’ Lalu Umar berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkanlah saya untuk memenggal leher orang munafiq ini!’ Maka beliau berkata, ‘Sesungguhnya dia (Hathib) telah mengikuti peperangan Badar. Tidakkah engkau mengetahui bisa jadi Allah melihat kepada orang-orang yang mengikuti perang Badar dan berfirman (yang artinya), ‘Berbuatlah sesuka kalian, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian!’”
Dari kisah Hathib di atas, dapat diambil beberapa faedah, di antaranya:
Tatsabbut (memastikan) dan tabayyun (mengklarifikasi)
Rasulullah ﷺ saat mendapatkan kenyataan isi surat tersebut tidak langsung menghukumi Hathib radhiyallahu anhu. Namun, Rasulullah ﷺ memastikan isinya lalu mengklarifikasinya kepada Hathib. Inilah adab Nabi ﷺ dalam menerima kabar dan menyikapi para pendosa. Sebagaimana yang telah kami nukilkan dalam kisah sahabat yang berhubungan badan saat siang hari bulan Ramadhan (tulisan bag. 1), Nabi ﷺ juga mengkonfirmasi secara jelas kepada orangnya tersebut. Nabi ﷺ memastikan apa yang dilakukan benar-benar dosa dan mengklarifikasi alasan di baliknya.
Dalam konteks kisah Hathib radhiyallahu anhu, Nabi ﷺ telah mendapatkan kepastian dari rencana membocorkan rahasia negara dari arah perjalanan si wanita kurir surat, serta isinya yang menyebut nama Hathib dan berkaitan dengan strategi negara. Maka, Nabi ﷺ pun melakukan tahap kedua yakni tabayyun dengan Hathib radhiyallahu anhu.
Inilah akhlak Islam yang indah dalam menyikapi berbagai permasalahan. Sebuah permasalahan hendaknya diletakkan pada tempatnya, baik dari segi kegentingan maupun volume permasalahannya. Hal ini dapat dilakukan dengan memastikan permasalahan itu benar-benar terjadi, serta mencari keterangan atau alasan di balik hal itu terjadi. Kedua pondasi akhlak tersebut adalah at-tatsabbut dan at-tabayyun. Ini adalah akhlak yang agung, semoga Allah ﷻ memberikan kesempatan bagi kami untuk membahasnya dan mengambil faedah dari bagian ilmu Allah ﷻ ini.
Menghargai kejujurannya
Setelah Nabi ﷺ meminta klarifikasi, Hathib radhiyallahu anhu pun memberikan klarifikasinya dan menerangkan alasannya. Ternyata Hathib radhiyallahu anhu melakukannya karena khawatir dengan keluarganya, yakni anak, istri, dan kerabatnya yang masih berada di Makkah. Beliau tidak memiliki pelindung keluarga di sana, sedangkan para sahabat Nabi ﷺ lainnya memilikinya. Maka, Hathib radhiyallahu anhu pun melakukan hal tersebut agar keluarganya mendapatkan perlindungan atau setidaknya meredakan rasa khawatir Hathib atas bahaya yang menghantui keluarganya.
Sungguh Hathib radhiyallahu anhu telah jujur dengan alasannya, inilah yang terlihat dari zahirnya pernyataan Hathib radhiyallahu anhu dan inilah yang dinilai Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ menerima klarifikasi tersebut dan menghargai kejujurannya Hathib radhiyallahu anhu. Harga kejujuran di sisi Nabi ﷺ sangatlah besar. Bagi para pendosa yang jujur, Rasulullah ﷺ memberikan rahmatnya begitu luas. Lihatlah kesamaan kisah di antara para sahabat Nabi ﷺ yang pernah berzina dan mengakui kesalahannya, serta kisah Kaab bin Malik yang mengakui dirinya tak ikut berperang? Semua kisah itu memiliki asas kejujuran dari pelakunya dan hasil akhir yang baik atas mereka. Pada kisah sahabat yang berzina, Nabi ﷺ bela mereka dan jelaskan bahwa tobat mereka begitu besar harganya di sisi Allah ﷻ. Dalam kisah Kaab, beliau justru mendapatkan hasil akhir yang baik dan menjadi kisah taubat yang epik.
Hendaknya seseorang menghargai kejujuran dari para pelaku dosa. Sebab hal tersebut adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Kalau tidak datang dari hati yang beriman kepada Allah As-Sami’ Al-Bashir Al-‘Alim, tentu para pendosa akan berkilah dan menutupi dosanya atau bahkan berbohong. Namun, keimanannya kepada Rabbnya menuntun mereka untuk menjejaki hukum hadd dari syariat yang berat. Kejujuran itu juga menjadi penanda bahwa si pelaku lebih menakuti hukuman akhirat daripada di dunia. Sehingga terlihat di sisinya, kampung akhirat lebih berharga dari dunia. Ini adalah keimanan yang besar, tentu nilainya tidaklah ringan. Maka, pantaslah menghargai kejujuran tersebut.
Mengingat jasa dan kedudukannya
Rasulullah ﷺ setelah membenarkan klarifikasi Hathib, beliau juga mengaitkan hal tersebut dengan jasa dan kedudukannya Hathib radhiyallahu anhu. Tatkala Umar radhiyallahu anhu sudah hendak memenggal kepalanya, Rasulullah ﷺ ingatkan tentang jasa dan kedudukan Hathib radhiyallahu anhu di perang Badar. Sampai Umar radhiyallahu anhu menangis mengingat posisi dirinya yang terasa seperti melampaui pengetahuan Nabi ﷺ.
Ini juga seni menyikapi pendosa yang indah dan sangat layak untuk diteladani. Sebuah dosa tidak membuat jasa dan kedudukan seseorang serta-merta hilang. Hathib radhiyallahu anhu, bagaimanapun besarnya dosanya, tetaplah seseorang yang pernah berjuang di peperangan Badar. Tidak hanya Nabi ﷺ yang menghargai jasanya, tetapi Allah ﷻ menghargai jasanya sebagaimana yang tersebutkan,
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ
“Berbuatlah sesuka kalian, sungguh Aku telah mengampuni kalian.”
Maka, selayaknya seorang muslim tidak bermudah-mudahan menghilangkan jasa orang lain hanya karena orang tersebut berdosa. Mungkin saja dosa itu teramat besar, mungkin saja dosa itu fatal sebagaimana yang dilakukan Hathib radhiyallahu anhu, tetapi dosa tersebut tidak semestinya membuat kebaikan seseorang sirna. Inilah bentuk sifat keadilan itu. Dan sebaik-baik teladan dalam mempraktikkan keadilan di sisi manusia adalah Imamul Anbiya, Rasulullah ﷺ.
Mengedepankan kasih sayang daripada keadilan semata
Asas terakhir yang dapat kita pelajari dari pendeknya uraian ini adalah kacamata kasih sayang yang digunakan Nabi ﷺ untuk melihat kasus ini. Terkadang apa yang menjadi alasan ini tak bisa diterima semua orang, termasuk Umar radhiyallahu anhu yang memiliki kecerdasan dan kewara’an. Namun, Rasulullah ﷺ melihatnya dengan sikap rahmat, berusaha berempati dan memahami kegelisahan Hathib radhiyallahu anhu, seorang ayah yang tengah gelisah melindungi keluarganya nan jauh di sana.
Sekarang, bayangkan anda memiliki anak dan istri yang rentan sedang tinggal di Gaza. Bagaimana perasaan Anda? Apalagi jika datang tawaran perlindungan keluarga apabila Anda memberitahukan rahasia negara Anda, sedangkan jika tidak, maka keluarga Anda terancam? Tentu ini adalah godaan yang tak mudah. Sekiranya inilah yang dialami Hathib radhiyallahu anhu.
Maka, seorang muslim bukan membenarkan kesalahannya, tetapi mengedepankan empati untuk berusaha memahami keadaan diri si pelaku. Dengan begitu, maka akan terbuka pintu komunikasi, untuk berdialog dan mengajaknya bertobat. Tentu ini bukanlah hal yang mudah juga, karena rasionalitas kita terkadang terhalangi emosi yang menyala saat itu. Namun, sungguh sempurna teladan Rasulullah ﷺ. Meski alasan Nabi ﷺ valid karena vitalnya permasalahan ini, serta Umar radhiyallahu anhu yang juga tersulut emosi, Nabi ﷺ tetap bisa rasional dan memaafkan Hathib radhiyallahu anhu tanpa mencelanya sama sekali. Malah Nabi ﷺ mengangkat derajatnya dengan mengingatkan jasanya kepada Umar radhiyallahu anhu.
Kami nukilkan faedah dari Prof. Dr. Raghib As Sirjani hafizhahullah, “Keadilan bisa saja menjatuhkan suatu hukuman kepada Hathib bin Balta’ah radhiyallahu anhu. Akan tetapi, kasih sayang bisa melihat sebuah urusan dengan cakupan yang lebih luas. Maka kita melihat siapa yang melakukan sebuah perbuatan, bagaimana sejarah hidupnya, apa presedennya, apa perbuatan masa lalunya, apakah ia orang baik atau tidak, dan apa latar belakang ia melakukan hal tersebut.
Kasih sayang bukan berarti mengarah kepada rasa kasihan untuk menghukum. Tetapi, mencari dengan cepat sebuah solusi untuk mengeluarkan seorang dari kesusahan atau masalah yang menjeratnya.
العدل درجة عظيمة.. ولكن الرحمة أعظم
Keadilan adalah derajat yang besar, tetapi kasih sayang lebih besar.” (Ar-Rahmah fi Hayati Rasulillah, hal. 116)
[Bersambung]
Kembali ke bagian 2
***
Penulis: Glenshah Fauzi
Artikel Muslim.or.id
Lifestyle
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.