Mengenal dan merenungkan nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya; merupakan jalan paling agung, paling jelas, dan paling kuat untuk mengilmui tauhid, yang merupakan tujuan penciptaan jin dan manusia. [1]
Salah satu nama Allah yang agung adalah Al-Mu’min, Yang Maha membenarkan dan Maha memberi keamanan. Nama ini mengandung makna yang mendalam tentang ketenangan, keadilan, dan kebenaran. Artikel ini akan mengulas dalil penyebutan nama Allah Al-Mu’min, kandungan maknanya secara bahasa dan konteks sebagai nama Allah, serta konsekuensinya dalam kehidupan seorang muslim.
Dalil nama Allah “Al-Mu’min”
Dalil yang menetapkan nama Allah “Al-Mu’min” terdapat dalam satu ayat, yaitu firman Allah Ta‘ala,
السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ
“As-Salām, Al-Mu’min, Al-Muhaymin.” (QS. Al-Hasyr: 23) [2]
Kandungan makna nama Allah “Al-Mu’min”
Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Mu’min” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.
Makna bahasa dari “Al-Mu’min”
Al-Mu’min ( المؤمن ) merupakan bentuk ism fā‘il (kata pelaku atau subjek) dari kata kerja ( آمن – يؤمن ) āmanā–yu’minu [3], dimana kata dasarnya adalah al-īmān. Kata al-īmān ( الإيمان ) secara umum mengandung makna tashdīq (pembenaran) dan iqrār (ketetapan) [4].
Az-Zajjāj rahimahullah mengatakan,
الْمُؤمن أصل الْإِيمَان التَّصْدِيق والثقة وَقَالَ الله عز قَائِلا {وَمَا أَنْت بِمُؤْمِن لنا} أَي لفرط محبتك ليوسف لَا تصدقنا
“Al-Mu’min berasal dari akar kata al-īmān, yang dasarnya adalah pembenaran dan kepercayaan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya), “Dan engkau tidak membenarkan kami” (QS. Yūsuf: 17); maksudnya: karena sangat cintanya engkau kepada Yusuf, maka engkau tidak membenarkan kami.” [5]
Az-Zajjajiy rahimahullah menyebutkan,
والإيمان في جميع تصرفه غير خارج عن معنى التصديق وما قاربه وتعلق به
“Al-īmān dalam seluruh penggunaannya tidak keluar dari makna pembenaran dan hal-hal yang berkaitan dengannya.” [6]
Tentang makna iqrar (ketetapan), Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
اشتقاقه (أي الإيمان) من الأمن الذي هو القرار والطمأنينة وذلك إنما يحصل إذا استقر في القلب التصديق والانقياد
“Asal kata al-iimaan dari al-amn, yang bermakna ketetapan dan ketenangan. Dan itu hanya terjadi apabila pembenaran dan kepasrahan telah menetap di dalam hati.” [7]
Makna “Al-Mu’min” dalam konteks Allah
Adh-Dhahhāk meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās radhiyallahu ‘anhuma, bahwa maksud Al-Mu’min (dalam QS. Al-Hasyr: 23) adalah,
أَمَّنَ خَلْقَهُ مِنْ أَنْ يَظْلِمَهُمْ
“Allah memberi rasa aman kepada makhluk-Nya dari kezaliman-Nya terhadap mereka.”
Ibnu Zaid rahimahullah berkata,
صَدّق عبادَه الْمُؤْمِنِينَ فِي إِيمَانِهِمْ بِهِ
“Allah membenarkan hamba-hamba-Nya yang beriman dalam keimanan mereka kepada-Nya.” [8]
Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy rahimahullah menyebutkan,
“المؤمن” الذي أثنى على نفسه بصفات الكمال، وبكمال الجلال والجمال، الذي أرسل رسله وأنزل كتبه بالآيات والبراهين، وصدق رسله بكل آية وبرهان، يدل على صدقهم وصحة ما جاؤوا به.
“Al-Mu’min adalah Dia yang memuji diri-Nya dengan sifat-sifat kesempurnaan, keagungan, dan keindahan; yang mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya dengan ayat-ayat dan bukti-bukti nyata; serta membenarkan para rasul-Nya dengan setiap ayat dan bukti yang menunjukkan kebenaran mereka dan kebenaran apa yang mereka bawa.” [9]
Dari keterangan di atas, dan ditambah dengan keterangan dari para ulama; diketahui bahwa nama Allah Al-Mu’min menunjukkan makna-makna yang agung dan kandungan yang mulia. Asy-Syaikh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah merangkumnya dalam poin-poin berikut,
- Allah Ta‘ala bersaksi atas keesaan-Nya (tauhid), yang merupakan kesaksian terbesar dari saksi paling agung terhadap kebenaran paling agung.
- Dia membenarkan siapa saja yang bersaksi tentang tauhid, serta membenarkan bahwa apa yang mereka katakan adalah benar dan jujur.
- Dia membenarkan para nabi dan rasul-Nya dengan hujjah dan bukti bahwa apa yang mereka sampaikan dari Allah adalah kebenaran yang tidak diragukan.
- Dia membenarkan janji-Nya kepada hamba-hamba-Nya berupa kemenangan dan pertolongan.
- Dia memberi keamanan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan wali-wali-Nya yang bertakwa dari azab dan hukuman-Nya.
- Dia menepati janji-Nya kepada mereka berupa kemenangan besar dan masuk ke dalam surga-surga penuh kenikmatan.
- Dia memberikan keamanan kepada orang-orang yang takut, dengan memberi mereka rasa aman, lawan dari rasa takut. [10]
Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-‘Adl”
Konsekuensi dari nama Allah “Al-Mu’min” bagi hamba
Penetapan nama “Al-Mu’min” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba:
Mengimani bahwa “Al-Mu’min” adalah salah satu dari nama Allah
Seorang muslim wajib mengimani bahwa Al-Mu’min adalah bagian dari nama-nama Allah yang mulia. Di antara maknanya adalah bahwasanya Allah adalah Dzat yang mentauhidkan diri-Nya sendiri. Dia telah memberitakan keesaan-Nya dalam firman-Nya,
شَهِدَ اللّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ
“Allah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Dia.” (QS. Āli ‘Imrān: 18)
Ini dan makna-makna lain dari nama ini harus diimani dan diyakini oleh setiap hamba. [11]
Seorang mukmin wajib hendaknya memberikan keamanan bagi sesama mukmin
Seorang muslim yang beriman kepada Al-Mu’min seharusnya memberikan keamanan, bukan gangguan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
والله لا يُؤمنُ؛ والله لا يُؤْمن؛ والله لا يُؤْمن
“Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman!” Para sahabat bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
الذي لا يَأمنُ جارُه بَوَائقه
“Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Bukhari no. 6016)
Artinya, seseorang tidak dianggap beriman dengan iman yang sempurna hingga tetangganya merasa aman dari kejahatan dan gangguannya.
Dalam hadis lain, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
المُسْلم مَنْ سَلِم المُسْلمون؛ مِنْ لسانه ويده
“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (Muttafaqun ‘alaih) [12]
Orang yang berbuat baik tidak perlu takut akan dizalimi atau dirugikan sedikit pun di sisi Allah
Ia tidak takut amalnya dikurangi atau disia-siakan, bahkan meskipun sebesar biji dzarrah. Karena Allah ‘Azza wa Jalla telah berjanji bahwa Dia akan memberikan balasan yang sempurna kepada orang-orang yang beramal, dan tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. Bahkan, Allah melipatgandakannya bagi siapa yang Dia kehendaki, dan memberi dari sisi-Nya pahala yang agung.
Adapun orang yang berbuat buruk, maka Allah akan membalasnya dengan balasan yang setimpal, atau bisa menghapusnya dengan tobat, penyesalan, istigfar, amal saleh, atau musibah yang menimpanya.
Allah Ta‘ala berfirman,
أُولَئِكَ الَّذِينَ نَتَقَبَّلُ عَنْهُمْ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَنَتَجَاوَزُ عَن سَيِّئَاتِهِمْ فِي أَصْحَابِ الْجَنَّةِ وَعْدَ الصِّدْقِ الَّذِي كَانُوا يُوعَدُونَ
“Mereka itulah orang-orang yang Kami terima amal terbaik dari apa yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka. Mereka termasuk penghuni surga; itu adalah janji yang benar yang dahulu dijanjikan kepada mereka.” (QS. Al-Aḥqāf: 16) [13]
Ya Allah, wahai Al-Mu’min, Engkau-lah yang bersaksi atas keesaan-Mu dan membenarkan para rasul-Mu dengan kebenaran. Teguhkanlah tauhid dalam hati kami, kuatkan keimanan kami, dan jauhkan kami dari segala bentuk kesyirikan, keraguan, dan penyimpangan dari jalan-Mu.
Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Quddus”
***
Rumdin PPIA Sragen, 10 Zulkaidah 1446
Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab
Artikel Muslim.or.id
Referensi Utama
Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.
An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.
Catatan kaki:
[1] Lihat Taisīr al-Laṭīf al-Mannān fī Khulāṣat Tafsīr al-Qur’ān, hal. 21.
[2] an-Nahj al-Asmā, hal. 89.
[3] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 548.
[4] Fiqh al-Asmā’, hal. 207.
[5] Tafsīr Asmā’ Allāh al-Ḥusnā, hal. 31.
[6] Isytiqāq Asmā’ Allāh, hal. 224.
[7] aṣ-Ṣārim al-Maslūl ‘alā Syātim ar-Rasūl, hal. 519.
[8] Dinukil dari Tafsir Ibnu Katsir, 8: 80.
[9] Taysīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 947.
[10] Diringkas dari Fiqh al-Asmā’ al-Ḥusnā, hal. 209-210. Penulis menyebutkan dalil dari masing-masing poin. Silakan merujuk ke kitab tersebut.
[11] an-Nahj al-Asmā’, hal. 90; Fiqh al-Asmā’, hal. 207-208.
[12] an-Nahj al-Asmā’, hal. 91.
[13] Fiqh al-Asmā’, hal. 210.
Lifestyle
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.