Fatwa Syekh Abu Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi
Pertanyaan:
Apakah mahar pengantin perempuan itu menjadi haknya atau menjadi hak walinya?
Jawaban:
Mahar itu menjadi hak perempuan, hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً
“Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (setubuhi) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.” (QS. An-Nisa’: 24)
Juga berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَاراً
“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta (mahar) yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikitpun.” (QS. An-Nisa’: 20)
Allah Ta’ala berfirman,
وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa’: 4)
Selain itu juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kisah suami istri yang saling li’an,
فَلَهَا الصَّدَاقُ بِمَا اسْتَحْلَلْتَ مِنْ فَرْجِهَا
“Maka ia (istri) berhak atas mahar karena kamu telah menghalalkan kemaluannya.”
Adapun jika ada yang beralasan dengan firman Allah Ta’ala ketika menceritakan seorang hamba yang saleh,
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ
“Dia (Syu’aib) berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku selama delapan tahun” (QS. Al-Qashash: 27); untuk mengatakan bahwa mahar itu menjadi hak dari wali, maka aku menjawabnya dengan beberapa jawaban (bantahan):
Pertama: Hal itu merupakan syariat umat sebelum kita. Adapun syariat kita (Muhamad shallallahu ‘alaihi wasallam) menunjukkan bahwa mahar itu menjadi hak dari perempuan.
Kedua: Pendapat tersebut tidaklah menafikan bahwa terdapat manfaat yang kembali kepada istri Musa ‘alaihis salam. Hal ini karena Musa ‘alaihis salam telah membantu ayahnya (perempuan itu), maka bisa jadi Musa ‘alaihis salam telah meringankannya dari tugas memberi minum ternak dan tugas-tugas lainnya.
Ketiga: Tidak menutup kemungkinan bahwa hal itu atas dasar saling rida antara hamba yang saleh tersebut (yaitu Syu’aib) dengan anak perempuannya. Wallahu Ta’ala a’lam.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam Al-Muhalla (9: 511),
ولا يحل لأب البكر – صغيرة كانت أو كبيرة – أو الثيب، ولا لغيره من سائر القرابة أو غيرهم: حكم في شيء من صداق الابنة، أو القريبة، ولا لأحد ممن ذكرنا أن يهبه، ولا شيئا منه، لا للزوج – طلق أو أمسك – ولا لغيره، فإن فعلوا شيئا من ذلك فهو مفسوخ باطل مردود أبدا. ولها أن تهب صداقها أو بعضه لمن شاءت، ولا اعتراض لأب ولا لزوج في ذلك – هذا إذ كانت بالغة عاقلة بقي لها بعده غنى وإلا فلا. ومعنى قوله عز وجل: {فنصف ما فرضتم إلا أن يعفون أو يعفو الذي بيده عقدة النكاح} [البقرة: 237] إنما هو أن المرأة إذا طلقها زوجها قبل أن يطأها – وقد كان سمى لها صداقا رضيته – فلها نصف صداقها الذي سمي لها، إلا أن تعفو هي فلا تأخذ من زوجها شيئا منه وتهب له النصف الواجب لها، أو يعفو الزوج فيعطيها الجميع، فأيهما فعل ذلك فهو أقرب للتقوى
“Tidak halal bagi ayah dari seorang gadis (baik yang masih kecil maupun yang sudah dewasa), begitu pula tidak halal bagi seorang ayah dari wanita janda, atau bagi siapa pun dari kerabat lainnya atau orang lain untuk memutuskan sesuatu dalam hal mahar anak perempuannya atau kerabat perempuannya. Tidak halal pula bagi siapa pun dari mereka yang telah disebutkan tersebut untuk memberikan/menghadiahkan (mahar tersebut) atau sebagian darinya, baik kepada suami (baik yang telah menceraikan atau masih mempertahankan pernikahan) maupun kepada orang lain. Jika mereka melakukan hal semacam itu, maka (tindakan) itu batal, tidak sah, dan harus ditolak selama-lamanya.
Wanita tersebut berhak memberikan maharnya atau sebagian darinya kepada siapa pun yang dia kehendaki, tanpa mempertimbangkan adanya keberatan dari ayah maupun suaminya; ini jika dia sudah baligh, berakal, dan masih memiliki kecukupan (harta) setelah itu. Jika tidak, maka tidak boleh.
Adapun makna firman Allah Ta‘ala (yang artinya), “Maka separuh dari mahar yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (para wanita) memaafkan, atau orang yang memegang ikatan nikah memaafkan” (QS. Al-Baqarah: 237), adalah bahwa jika seorang wanita dicerai oleh suaminya sebelum digauli, dan mahar telah ditentukan dan disepakati olehnya, maka dia berhak atas setengah dari mahar tersebut yang telah disebutkan. Kecuali jika dia sendiri memaafkan (tidak menuntutnya) dan memberikannya kepada suaminya, atau jika suami memaafkan (maksudnya: memberikan seluruhnya). Siapa pun di antara keduanya yang memaafkan, maka itu lebih dekat kepada takwa.”
Kemudian beliau menyebutkan perbedaan pendapat tentang makna firman Allah Ta’ala,
الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ
“Orang yang memegang ikatan (akad) nikah” (QS. Al-Baqarah: 237); dan beliau memilih pendapat bahwa yang dimaksud adalah suami.
Baca juga: Hukum Menyegerakan atau Menunda Penyerahan Mahar
***
@Unayzah, KSA; 18 Zulkaidah 1446/ 16 Mei 2025
Penerjemah: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
Diterjemahkan dari Ahkaamun Nikah waz Zifaf, hal. 84-85.
Lifestyle
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.