Kecerdasan intelektual (IQ) kerap dianggap sebagai tolok ukur kesuksesan. Namun, sejarah Islam mengajarkan bahwa kecerdasan tanpa iman dan tauhid justru menjadi bumerang yang menghancurkan.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ َ
“Dan meskipun kamu sangat ingin (agar mereka beriman), kebanyakan manusia tidak akan beriman.” (QS. Yusuf: 103)
Banyak orang cerdas dan berilmu justru menolak kebenaran. Kisah para pembesar (Al-Mala’) yang menentang dakwah Nabi Nuh, Hud, Saleh, hingga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi bukti nyata. Artikel ini akan mengurai mengapa tauhid —bukan sekadar kecerdasan— menjadi kunci keselamatan dunia dan akhirat.
Ilmu sejati adalah yang melahirkan ketakwaan, bukan kesombongan. Banyak orang cerdas yang justru terjebak dalam sikap angkuh, merasa bahwa ilmu mereka cukup untuk menafikan wahyu.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama (yang berilmu).” (QS. Fathir: 28)
Contohnya, kaum musyrikin Quraisy yang menentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang pandai dalam sastra dan strategi, tetapi kecerdasan mereka justru menjadi penghalang untuk menerima kebenaran. Oleh karena itu, kecerdasan harus selalu diiringi dengan kerendahan hati dan kesadaran akan keterbatasan diri sebagai makhluk.
Pondasi yang menyelamatkan
Orang yang bertauhid akan merasa aman karena meyakini bahwa segala urusan berada di tangan Allah. Mereka tidak mudah terombang-ambing oleh kegelisahan duniawi, karena tauhid mengajarkan untuk bersandar hanya kepada Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. An-Nisa’: 36)
Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82)
Kecerdasan tanpa tauhid ibarat kapal tanpa nahkoda: mungkin bergerak cepat, tetapi mudah terhempas ke jurang kesesatan. Sebaliknya, tauhid mengarahkan kecerdasan untuk mengenal hakikat penciptaan dan menjauhi kesombongan intelektual. Kecerdasan duniawi tidak akan berguna jika seseorang mati dalam keadaan syirik. Sebaliknya, tauhid yang murni akan menjadi penyelamat, meskipun seseorang tidak memiliki banyak ilmu atau harta.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah, maka dia akan masuk surga.” (HR. Muslim no. 145)
Mengapa kecerdasan saja tidak cukup?
Kecerdasan sering dianggap sebagai kunci kesuksesan. Akan tetapi dalam Islam, kecerdasan tanpa iman justru bisa menjadi jerat yang berbahaya. Orang cerdas cenderung mengandalkan logika dan akal semata, sehingga meragukan wahyu dan petunjuk dari Allah Ta’ala.
Padahal, Allah Ta’ala telah mengingatkan dalam Al-Qur’an,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama (yang berilmu).” (QS. Fathir: 28)
Ilmu sejati bukanlah yang membuat seseorang sombong, melainkan yang menumbuhkan ketakwaan dan kerendahan hati di hadapan Allah. Namun, kecerdasan juga bisa menyesatkan ketika seseorang terlalu mengikuti arus mayoritas.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّه
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al-An’am: 116)
Lebih berbahaya lagi, setan sering kali menghiasi kesyirikan dengan kedok “kecerdasan” dan “rasionalitas”. Syekh Abdurrazzaq Al-Badr dalam kitab “براهن التوحيد” (Bukti-Bukti Tauhid) menjelaskan bahwa setan menipu manusia dengan mengemas syirik dalam bentuk pemikiran filosofis yang terlihat logis. Misalnya, pengkultusan terhadap orang saleh dianggap sebagai bentuk penghormatan, padahal itu adalah kesyirikan yang merusak tauhid.
Oleh karenanya, kecerdasan harus diimbangi dengan pemahaman tauhid yang benar. Tanpa tauhid, kecerdasan hanya akan menjadi alat kesombongan dan kesesatan. Sebaliknya, kecerdasan yang dipandu oleh tauhid akan membawa manusia kepada kebenaran, ketenangan, dan keselamatan dunia akhirat.
Baca juga: Tiga Kunci Sukses Belajar Fikih
Simpel, tetapi menyelamatkan
Tauhid adalah konsep yang mudah dipahami, bahkan oleh orang awam sekalipun. Al-Qur’an menjelaskan tauhid dengan sangat jelas dan gamblang, seperti dalam Ayat Kursi (QS. Al-Baqarah: 255), yang menegaskan keesaan Allah dalam kekuasaan, ilmu, dan kehidupan. Tidak perlu menjadi ulama atau ahli agama untuk memahami tauhid, karena tauhid adalah fitrah yang telah Allah tanamkan dalam hati setiap manusia. Setiap anak yang lahir sudah membawa fitrah ini, dan tugas kita adalah menjaga serta mengembangkannya.
Selain mudah dipahami, tauhid juga menjadi benteng yang melindungi kita dari kesesatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah…” (HR. Bukhari no. 8; Muslim no. 16)
Pondasi tauhid ini menjauhkan kita dari penyimpangan akidah, seperti syirik, bidah, dan khurafat. Bahkan orang yang tidak memiliki latar belakang ilmu filsafat atau teologi yang mendalam bisa terjaga akidahnya selama ia memegang teguh prinsip tauhid.
Tauhid tidak hanya melindungi, tetapi juga mengarahkan kecerdasan kita untuk kebaikan. Dalam kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, Imam Syafi’i rahimahullah pernah berkata,
العلم ما نفع، ليس العلم ما حُفِظ
“Ilmu bukanlah yang dihafal, tetapi yang memberi manfaat.”
“Kompas” menuju Allah
Tanpa tauhid, kecerdasan bisa menjadi bumerang yang menjerumuskan seseorang ke dalam kesesatan. Sejarah telah membuktikan betapa banyak orang pintar —seperti para filsuf dan ilmuwan— yang justru tersesat karena mengabaikan prinsip “إخلاص الدين لله” (memurnikan agama hanya untuk Allah). Mereka mungkin mencapai puncak keilmuan dan kesuksesan duniawi, tetapi tanpa tauhid, semua itu menjadi sia-sia.
Tauhid berperan sebagai kompas yang mengarahkan kecerdasan ke jalan yang benar. Tanpa kompas ini, kecerdasan bisa terjerumus ke dalam kesombongan, keangkuhan, atau bahkan penentangan terhadap ajaran Allah. Lihatlah kisah Fir’aun, yang dikenal sebagai penguasa cerdas dan kuat, tetapi karena tidak bertauhid, ia justru menjadi simbol kezaliman dan kekufuran. Tauhid mengajarkan kita untuk rendah hati dan menyadari bahwa segala kecerdasan berasal dari Allah.
Oleh karenanya, marilah kita menjadikan tauhid sebagai pondasi dalam mengembangkan kecerdasan. Jadilah orang yang bertauhid yang meyakini bahwa kecerdasan tidak hanya digunakan untuk mengejar kepentingan duniawi, tetapi juga untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dan memberikan manfaat bagi sesama.
Seorang muslim yang cerdas dan bertauhid akan menggunakan ilmunya untuk memperjuangkan kebenaran, menegakkan keadilan, dan menyebarkan kebaikan. Marilah kita senantiasa memurnikan niat dan mengarahkan segala potensi kita hanya untuk mencari keridaan-Nya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Baca juga: Tolok Ukur Kesuksesan Manusia
***
Penulis: Fauzan Hidayat
Artikel Muslim.or.id
Lifestyle
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.