Terjadinya perbedaan di dalam kehidupan ini adalah realita yang tak dapat terelakkan. Karena tak ada satu pun makhluk di dunia ini yang tercipta sama persis. Pasti terdapat perbedaan di antara keduanya, bahkan hal ini pun kita maklumi pada orang yang terlahir kembar. Perbedaan itu pasti berpotensi melahirkan perselisihan, baik besar maupun kecil. Apalagi pada insan yang banyak perbedaannya, yaitu manusia dengan kompleksitasnya ketika tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, perselisihan adalah suatu keniscayaan.
Akan tetapi, keniscayaan akan perselisihan itu bukan berarti menjadikan kita berleha, santai, dan tidak melakukan pencegahan. Bahkan dalam Islam, perselisihan akibat perbedaan itu hendaknya diupayakan untuk diminimalisir dan segera diselesaikan jika sudah terjadi. Allah ﷻ berfirman tentang perintah bersatu,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu jadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran: 103)
Allah kaitkan perintah persatuan dengan mengingat nikmat Allah akan hal itu. Hal ini menunjukkan bahwa nikmat persatuan di atas agama Allah adalah nikmat yang besar, sedangkan perselisihan, apalagi perpecahan, adalah ujian kesengsaraan. Maka, penting bagi kita untuk memiliki ilmu tentang fenomena perselisihan dan cara menyikapinya.
Mengutamakan berdialog
Salah satu langkah yang dianjurkan tatkala menghadapi perselisihan dan perbedaan adalah dengan mengutamakan dialog di antara pihak yang terkait. Berdialog adalah manhaj Nabi ﷺ dan para salaf tatkala terjadi perselisihan di antara mereka. Berbeda pendapat di kalangan mereka sering terjadi, tetapi tidak didiamkan semata tanpa solusi dan gontok-gontokan di belakang satu sama lain.
Dalam masalah perbedaan paham fikih misalnya, para sahabat berbeda pemahaman atas sabda Nabi ﷺ,
لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ العَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ
“Janganlah ada satupun yang salat ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidzah.” (HR. Bukhari no. 946 dan Muslim no. 1770)
Para sahabat tidak hanya diam, lalu membiarkan perbedaan ini terjadi begitu saja. Atau salah satu pihak mengikuti pendapat yang lainnya, tetapi ngedumel di belakang. Akan tetapi, mereka berusaha berdialog dan menerangkan pemahaman mereka. Lalu berusaha mencari putusannya kepada otoritas terkait, yakni Nabi ﷺ yang tatkala itu masih hidup.
Menguatkan argumentasi dan tidak saling bersikeras
Dialog yang dilakukan pun tidak asal ngotot-ngototan, tetapi memiliki argumentasi yang kuat. Salah satu pihak yang tetap berhenti salat ashar, mereka mengatakan,
وقالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ نُصَلِّي، لمْ يُرَدْ مِنّا ذلكَ
“Dan sebagian lain berkata, “Justru kita akan salat (sekarang), karena itu (penundaan salat) tidaklah dimaksudkan demikian.”
Atau dalam nukilan lainnya,
لم يُرِدْ منّا رسولُ اللَّهِ ﷺ إلّا تَعجيلَ المسيرِ، ولم يُرِدْ منّا تأخيرَ الصَّلاةِ عَن وقتِها
“Rasulullah ﷺ tidak menginginkan dari kita selain agar segera berangkat (bercepat-cepat dalam perjalanan), dan beliau tidak bermaksud agar kita menunda salat dari waktunya.” (Umdatut Tafsir, 1: 566; oleh Ahmad Syakir)
Begitupula tatkala kesedihan meliputi Umar ketika Nabi ﷺ wafat. Dalam keadaan emosional Umar dan para sahabat lainnya, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tetap memberikan perkataan dan argumentasi yang ilmiah dan logis,
فقال: أما بعد، فمن كان منكم يعبد محمداً ؛ فإن محمداً قد مات، ومن كان يعبد الله؛ فإن الله حي لا يموت
“Abu Bakar berkata, “Amma ba’du. Barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sungguh Muhammad telah wafat. Dan barangsiapa di antara kalian yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Maha hidup dan tidak akan mati.” (HR. Bukhari no. 4097)
Lalu Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu melandasi pernyataan tersebut dengan ayat,
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ ٱلرُّسُلُ ۚ أَفَإِي۟ن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ ٱنقَلَبْتُمْ عَلَىٰٓ أَعْقَٰبِكُمْ ۚ وَمَن يَنقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ ٱللَّهَ شَيْـًٔا ۗ وَسَيَجْزِى ٱللَّهُ ٱلشَّٰكِرِينَ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 144)
Lihatlah, bagaimana kematangan seorang muslim yang cerdas dan pemimpinnya kaum mukminin setelah para Nabi. Pada saat kondisi genting, beliau tetap bisa berargumentasi dengan tenang, tegas, tepat sasaran, dan menyentuh hati. Hal ini terbukti dengan respons para sahabat yang diwakili oleh Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau merasa seakan-akan belum pernah mendengar ayat itu diturunkan kepadanya.
Baca juga: Keistimewaan Dakwah Salafus Saleh
Dialog dalam perselisihan besar
Hal ini pula yang dilakukan para sahabat tatkala terjadi perselisihan yang menimbulkan peperangan. Kedua belah pihak mengirimkan wakilnya untuk berdialog dan menemukan solusinya. Ini yang dilakukan ketika terjadi perselisihan Shiffin, antara Ali radhiyallahu ‘anhu dan Muawiyah radhiyallahu ‘anhu. Keduanya mengirimkan wakilnya yang cerdas untuk memutuskan permasalahan.
Begitupula dalam gonjang-ganjing Khawarij yang muncul di masa Ali radhiyallahu ‘anhu. Tatkala itu, para Khawarij sudah hendak bergerak memberontak. Lalu, dengan gagah berani, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang memiliki kapabilitas serta pembawaan yang berwibawa mengajukan diri untuk berdialog dengan mereka. Meski Ali radhiyallahu ‘anhu mengkhawatirkannya, tetapi beliau tetap mengizinkannya. Kemudian Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mendatangi mereka dengan pakaian terbaik dan bekal menjawab syubhat yang ada di sisi mereka.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan para sahabat lainnya tidak berpangku tangan dengan fitnah dan perselisihan. Ketika terdapat gonjang-ganjing, mereka tidak sekadar membicarakannya di ruang pribadi atau sibuk di majelis publik tanpa melibatkan penyebabnya. Namun, mereka mengutamakan dialog, tentu saja dengan kematangan ilmu di sisi mereka. Langkah utama ini menghasilkan banyak kebaikan dan mencegah banyak keburukan terjadi.
Andai saja para sahabat di perjalanan ke Bani Quraizhah itu bertengkar dan saling keras, tentu mereka tak akan dapat menyelesaikan misi Rasulullah ﷺ. Apabila saat Nabi ﷺ wafat, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu ikut larut dalam kesedihan dan mengedepankan emosinya, mungkin terjadi cek-cok yang tiada manfaatnya dengan Umar radhiyallahu ‘anhu yang tengah dikuasai rasa sedihnya. Jika dalam perselisihan Ali dan Muawiyah radhiyallahu ‘anhum tidak ada usulan tahkim, mungkin saja perselisihan tersebut berlarut-larut. Dan seandainya Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tidak turun untuk memberantas syubhat Khawarij saat itu, mungkin saja terjadi pertumpahan besar di antara kaum muslimin.
Ini adalah perandaian yang dimaksudkan untuk diambil pelajaran darinya. Sebab terdapat hikmah besar dari kelapangan hati berdialog tatkala berselisih. Yakni, selesainya masalah dan mencegah berbagai asumsi liar yang didapatkan dari banyaknya berbagi pikiran dengan orang yang tidak paham masalah ataupun kurang bijaksana.
Semoga Allah ﷻ senantiasa memberikan kedamaian dan persatuan di antara kaum muslimin di atas kalimat yang hak dan tali agama Allah ﷻ yang kuat.
[Bersambung]
Baca juga: Tantangan Dakwah Tauhid
***
Penulis: Glenshah Fauzi
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
أدب الاختلاف بين الصحابة وأثره على الواقع الإسلامي المعاصر karya Syeikh Saad bin Sayyid bin Quthb hafizhahullah. Pemahaman teks dibantu oleh terjemahan Adab Ikhtilaf Para Sahabat, Penerbit Al-Kautsar.
Baca kisah debat Ibnu Abbas radhiyallahu anhu di sini:
Al-Bahits Al-Hadits dari sunnah.one
Lifestyle
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.