Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus
Pertanyaan:
Akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa apa yang Allah kehendaki, pasti terjadi; dan apa yang tidak Dia kehendaki, tidak akan terjadi. Di sini, muncul keraguan dalam diriku, yaitu: Suatu perbuatan —tanpa mempertimbangkan kehendak hamba terhadapnya atau tidak— terjadi berdasarkan kehendak Allah. Jadi, jika seorang hamba bermaksiat kepada Allah, maka maksiatnya itu terjadi karena kehendak Allah. Sedangkan peran kehendak hamba yang menjadi perantara antara kehendak Allah dan perbuatan tersebut tidak memiliki pengaruh, karena kehendak hamba —baik ada maupun tidak— sama saja di sisi kehendak Allah. Jika Allah menghendaki seorang hamba melakukan sesuatu, maka dia akan melakukannya; dan jika Allah tidak menghendakinya, maka dia tidak akan melakukannya.
Pertanyaanku: Bukankah ini berarti bahwa hamba itu dipaksa dan terpaksa dalam perbuatannya, baik yang baik maupun yang buruk? Jika jawabannya ‘ya’, lalu bagaimana dia dihukum karena maksiatnya? Mohon penjelasannya, semoga Allah membalas kalian dengan kebaikan. Ini adalah hal yang membingungkanku.
Jawaban:
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, dan selawat serta salam kepada utusan Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam, serta kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan saudara-saudaranya hingga hari kiamat. Amma Ba’du:
Sesungguhnya nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah telah menunjukkan bahwa manusia memiliki kehendak dan keinginan, serta bahwa ia benar-benar pelaku (atas perbuatannya). Namun, semua perbuatan pilihannya tidak keluar dari ilmu (pengetahuan) Allah, kehendak-Nya, dan keinginan-Nya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,
لِمَن شَآءَ مِنكُمۡ أَن يَسۡتَقِيمَ وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menghendaki menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. At-Takwir: 28-29)
Hal itu karena mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Pemelihara, dan Pemiliknya. Ini mencakup semua entitas yang berdiri sendiri beserta sifat-sifatnya, termasuk perbuatan hamba dan selain perbuatan hamba. Dan bahwa apa yang Dia kehendaki, pasti terjadi; dan apa yang tidak Dia kehendaki, tidak akan terjadi. Maka, tidak ada sesuatu pun yang ada di alam semesta ini kecuali dengan kehendak dan kekuasaan-Nya. Tidak ada sesuatu yang mustahil bagi-Nya jika Dia menghendakinya, bahkan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan Dia tidak menghendaki sesuatu kecuali Dia Mahakuasa atasnya (bukan karena tidak mampu mewujudkannya, pent.).
Dia Maha Mengetahui apa yang telah terjadi; apa yang akan terjadi; juga apa yang tidak terjadi, dan seandainya terjadi, bagaimana keadaannya. Ini mencakup perbuatan hamba dan selainnya. Allah telah menetapkan takdir makhluk sebelum menciptakan mereka: Dia menetapkan ajal, rezeki, amal perbuatan mereka, dan mencatatnya. Dia juga mencatat apa yang akan mereka alami, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan. Oleh karena itu, mereka (Ahlus Sunnah wal Jamaah) beriman bahwa Allah menciptakan segala sesuatu, Mahakuasa atas segala sesuatu, menghendaki segala yang terjadi, mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi, menetapkan takdirnya, dan mencatatnya sebelum sesuatu itu terjadi. [1]
Adapun perkataan Anda, ‘Bukankah ini berarti bahwa hamba itu dipaksa dan terpaksa dalam perbuatannya, baik yang baik maupun yang buruk?’
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menjawab hal ini dengan perkataannya, “Demikian juga dengan istilah jabar (paksaan). Jika ada yang bertanya: Apakah hamba itu dipaksa atau tidak dipaksa? Maka dijawab: Jika yang dimaksud dengan jabar adalah bahwa hamba tidak memiliki kehendak, tidak memiliki kemampuan, atau tidak memiliki perbuatan, maka ini adalah batil (salah). Karena sesungguhnya hamba adalah pelaku atas perbuatan-perbuatan pilihannya, dan dia melakukannya dengan kemampuan dan kehendaknya. Namun, jika yang dimaksud dengan jabar adalah bahwa Allah adalah Pencipta kehendaknya, kemampuannya, dan perbuatannya, maka sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Pencipta semua itu.” [2]
Kemudian, ketahuilah juga bahwa ‘kehendak’ (الإرادة) memiliki dua makna:
Pertama, kehendak bisa bermakna cinta (المحبَّة), yaitu kehendak syar’i (الإرادة الشرعيَّة), yang mengharuskan adanya ketetapan (القضاء) dan hukum syar’i.
Kedua, kehendak bisa bermakna keinginan (المشيئة), yaitu kehendak kauni qadari (الإرادة الكونيَّة القَدَريَّة), yang mengharuskan adanya ketetapan dan hukum kauni qadari.
Kehendak syar’i mengharuskan adanya cinta dan ketaatan, dan terkadang apa yang menjadi objeknya terjadi, namun terkadang tidak terjadi (misalnya, salat adalah ibadah yang Allah cintai; namun tidak semua kaum muslimin rajin salat, pent.). Sedangkan kehendak kauni mengharuskan terjadinya sesuatu, dan objeknya bisa jadi dicintai oleh Allah dan berupa ketaatan, atau bisa juga tidak (misalnya, maksiat adalah sesuatu yang Allah benci; namun sebagian kaum muslimin justru suka bermaksiat, pent.). Oleh karena itu, tidak ada keterkaitan yang pasti antara cinta dan keinginan. Keduanya bisa bersatu pada diri seorang mukmin yang taat, tetapi terpisah pada diri seorang kafir atau pelaku maksiat.
Kehendak kauni tidak mungkin lepas dari makhluk mana pun, dan tidak akan pernah terlepas darinya dalam keadaan apa pun. Semua makhluk berada di bawah kehendak-Nya, sebagai hamba yang tunduk pada kekuasaan rububiyah-Nya, tidak mampu keluar darinya. Sedangkan kehendak syar’i tidak lepas dari objeknya di alam semesta, karena di dalamnya ada hamba Allah yang taat dan menunaikan hak ketuhanan-Nya. Kemampuan, kehendak, dan perbuatan hamba semuanya adalah ciptaan Allah dan tunduk pada kehendak-Nya.
Oleh karena itu, ketetapan Allah (قضاء الله) terbagi menjadi dua: (1) ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَريٌّ), dan (2) ketetapan syar’i dini (شرعيٌّ دِينيٌّ).
Pertama, ketetapan kauni qadari (كونيٌّ قَدَرِيٌّ)
Terjadinya adalah suatu keharusan karena kehendak Allah yang berlaku di kerajaan-Nya. Ketetapan ini tidak lepas dari hikmah. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا قَضَىٰٓ أَمۡرٗا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ
“Dan apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: Jadilah! Maka jadilah sesuatu itu.” (QS. Al-Baqarah: 117)
Dan Allah juga berfirman,
وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ سُوٓءٗا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ
“Dan apabila Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya, dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Allah menetapkan bagi hamba-hamba-Nya untuk melakukan ketaatan atau kemaksiatan. Perbuatan-perbuatan pilihan mereka terjadi dengan pilihan mereka sendiri, meskipun hal itu terjadi dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketetapan kauni qadari ini ilmu tentangnya tersembunyi dari hamba, sehingga tidak boleh baginya berdalih dengannya. Sebagaimana dia sendiri tidak menerima alasan takdir dari orang lain jika orang itu berbuat buruk kepadanya. Sebagaimana keburukan terjadi dengan takdir, maka hukuman bagi pelaku keburukan juga terjadi dengan takdir Allah.
Celaan ditujukan kepada orang yang memiliki sifat tercela, bukan kepada Penciptanya. Seorang hamba tidak akan dihisab (diberi pahala atau siksa) atas apa yang ditakdirkan kepadanya yang bukan termasuk perbuatan pilihannya dari sisi ini. Namun, dia wajib bersyukur jika ketetapan Allah tersebut mendatangkan nikmat, bersabar jika ketetapan itu mendatangkan keburukan, mengakui karunia Allah jika itu berupa taufik untuk taat, dan mengecam dirinya sendiri serta segera bertaubat jika itu berupa pembiaran antara dirinya dan kemaksiatan.
Baca juga: Wahai Hamba, Malulah kepada Allah!
Kedua, ketetapan syar’i dini (القضاء الشَّرعيُّ الدِّينيُّ)
Kehendak dan pilihan hamba berkaitan dengan ketetapan ini, dan di atasnyalah dibangun taklif syar’i (beban hukum) berupa perintah dan larangan. Ketetapan ini menjadi dasar pemberian pahala dan siksa. Allah Ta’ala telah menampakkan kehendak syar’i dini dan ketetapan-Nya kepada kita melalui para rasul dan wahyu, berupa halal dan haram, janji, dan ancaman. Allah juga memberikan kemampuan dan kesanggupan untuk melaksanakannya.
Karena ketetapan kauni qadari mencakup segala sesuatu yang telah terjadi dan akan terjadi hingga hari kiamat, maka kepatuhan terhadap ketetapan syar’i dini, terjadinya, atau ketidakpatuhannya, tunduk pada ketetapan kauni qadari dan tidak keluar darinya. Sebab, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang luput dari ketetapan kauni qadari.
Kesimpulannya: Allah Ta’ala mencintai ketaatan dari hamba-hamba-Nya dan memerintahkan mereka untuk melakukannya dengan perintah syar’i. Dia tidak mencintai kemaksiatan dari mereka dan melarang mereka darinya dengan ketetapan syar’i dini yang bersifat taklif (beban hukum). Apa yang terjadi berupa ketaatan, kemaksiatan, atau selainnya, semuanya terjadi dengan kehendak dan perintah qadari Allah. Sedangkan apa yang tidak terjadi, itu karena Allah tidak menghendaki terjadinya.
Dalam kemampuan mukallaf (orang yang dibebani hukum), terdapat pilihan untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, dan hal itu diserahkan kepada pilihannya. Namun, ilmu Allah telah mendahului dan kehendak-Nya telah berlaku bahwa sebagian hamba akan memilih jalan kebenaran dan ketaatan. Sebagaimana Dia juga mengetahui dan menghendaki bahwa sebagian hamba akan memilih jalan kesesatan dan penyimpangan. Maka, Allah menetapkan pahala bagi ahli ketaatan dan menetapkan siksa bagi ahli kesesatan dan penyimpangan dengan ketetapan kauni qadari yang telah didahului oleh ilmu, catatan, dan kehendak-Nya.
Hal ini tidak menafikan bahwa manusia adalah pelaku yang memilih, sehingga dia berhak mendapatkan balasan atas perbuatannya. Ketetapan kauni ini bersifat gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang pelaku maksiat tidak boleh berdalih atas dosa dan kelalaiannya dalam menunaikan ketaatan dengan ketetapan kauni qadari, karena tidak ada alasan yang bisa diterima dalam hal ini. Sebagaimana dia sendiri tidak akan menerima alasan seperti itu dari orang lain jika orang itu lalai dalam menunaikan haknya atau berbuat zalim kepadanya.
Di sisi lain, tidak boleh bagi seseorang meninggalkan amal dengan alasan tawakal dan mengandalkan kehendak kauni qadari Allah. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang-orang yang berkata, ‘Wahai Rasulullah, lalu untuk apa kami beramal? Apakah kami tidak boleh berserah diri saja?’ Beliau menjawab,
لَا، اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
“Tidak, beramallah! Karena setiap orang akan dimudahkan (menuju jalan) penciptaannya.”
Kemudian beliau membaca firman Allah,
فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, serta membenarkan (pahala) yang terbaik.”
Hingga firman-Nya,
فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ
“Maka Kami akan memudahkan baginya jalan menuju kesulitan.’” (QS. Al-Lail) [3]
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya takdir (القدر) bukanlah hujah (alasan) bagi siapa pun terhadap Allah atau terhadap makhluk-Nya. Seandainya boleh bagi seseorang berdalih dengan takdir atas perbuatan buruk yang dilakukannya, maka tidak akan ada orang zalim yang dihukum, tidak akan ada orang musyrik yang dibunuh, tidak akan ada hudud (hukum pidana Islam) yang ditegakkan, dan tidak akan ada seorang pun yang dicegah dari berbuat zalim kepada orang lain. Ini termasuk kerusakan dalam agama dan dunia yang secara pasti diketahui kerusakannya berdasarkan akal sehat yang sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah.
Oleh karena itu, takdir harus diimani, tetapi tidak boleh dijadikan alasan. Barangsiapa yang tidak beriman kepada takdir, maka dia menyerupai Majusi. Barangsiapa yang berdalih dengan takdir, maka dia menyerupai orang-orang musyrik. Dan barangsiapa yang mengakui takdir tetapi mencela keadilan dan hikmah Allah, maka dia menyerupai Iblis. Karena Allah menyebutkan tentang Iblis bahwa dia mencela hikmah-Nya dan menentang-Nya dengan pendapat dan hawa nafsunya. Iblis berkata,
بِمَآ أَغۡوَيۡتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ
“Oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi.” (QS. Al-Hijr: 39)
Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat.
Baca juga: Perbaiki Penghambaanmu kepada Allah
***
Penerjemah: Fauzan Hidayat
Artikel Muslim.or.id
Sumber: https://www.ferkous.app/home/?q=fatwa-28
Catatan kaki:
[1] Majmu’ al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 8: 449.
[2] Majmu’ al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 7: 664.
[3] Muttafaqun ‘alaih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam “At-Tafsir”, (no. 4949), dan Muslim dalam “Al-Qadar” (no. 2647), serta Ahmad (621, 1349), dari hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Lafaz ini milik Muslim.
Lifestyle
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.